SUKABUMITREN.COM - Empat hari pasca sidang terakhir di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, yakni Minggu, 23 November 2025, keluarga ahli waris Labbai bin Sonde masih terus mempersoalkan hasil mediasi bersama pengacara PT Bumi Karsa di PN Makassar. Mediasi yang berlangsung Kamis, 20 November 2025, itu dilakukan untuk mencari titik temu penyelesaian kasus sengketa tanah seluas 27 hektar di Jalan Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar.
Dalam mediasi ini, ahli waris Labbai resmi mengajukan tawaran harga sebesar Rp 150 miliar bagi tanah seluas 27 hektar di Jalan Lantebung itu. Namun, angka Rp 150 miliar ini ditawar kuasa hukum PT Bumi Karsa, dengan mengajukan tawaran balik sebesar Rp 150 juta.
Dalam surat tertulis yang dikirimkan kepada Hakim Mediator PN Makassar, Rabu, 19 November 2025, kuasa hukum PT Bumi Karsa berdalih, penawaran Rp 150 miliar itu tidak memiliki dasar perhitungan yang jelas dan rasional, berdasarkan kerugian yang nyata, nilai objek sengketa, maupun kepemilikan yang sah.
“Namun, demi tercapainya perdamaian yang berkelanjutan dan sebagai bentuk penghargaan kepada Penggugat atas jalan damai yang ditawarkan melalui mediasi yang difasilitasi Bapak Hakim Mediator, kami bersedia mempertimbangkan penyelesaian perkara secara damai, dengan menawarkan uang damai (ex gratia) tanpa mengakui adanya kesalahan atau keabsahan klaim Penggugat, sebesar Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) yang kami nilai lebih proporsional atau kesepakatan lainnya yang lebih mudah untuk dilaksanakan,” demikian tulis kuasa hukum PT Bumi Karsa dalam suratnya itu.

Surat yang dikirimkan kuasa hukum PT Bumi Karsa kepada Hakim Mediator PN Makassar
Atas tawaran yang diajukan kuasa hukum PT Bumi Karsa itu, Irwan Ilyas, selaku wakil keluarga ahli waris Labbai, menyebut PT Bumi Karsa telah menganggap remeh rakyat kecil pemilik tanah di Lantebung.
“Hari ini, tanggal 20 November 2025, Alhamdulillah, kami sudah mendapatkan penawaran dari Bumi Karsa, yang termasuk Kalla Grup. Namun, kami tidak kecil hati. Mungkin, Bumi Karsa belum punya uang, baru berani menawar lokasi tanah Lantebung. Kalau emang belum ada uangnya, jangan berani menawar. Karena, itu 27 hektar, ya masuk akal Pak. Itu cuma hitungannya masyarakat kecil. Tapi, Alhamdulillah, dia punya 27 hektar,” urai Irwan, via pesan Whatsapp (WA), Jumat, 21 November 2025.
“Jadi, sekali lagi, khususnya Kalla Grup, tolong diperhatikan itu bawahannya, atau antek-anteknya. Kita saling menghormati, tapi kelakuannya harus dilihat dulu ke bawah. Tolong turun ke lokasi. Kalau kamu bilang miliknya itu dengan SHGB, tolong turun ke lokasi. Kami masyarakat kecil, tapi masih bisa menunjukkan. Ini Negara Indonesia. Surat-surat yang berlaku di Indonesia itu, negara yang mengakui, bahwa berlaku tidak berlakunya, bukan Kalla Grup sama pengacaranya,” tegas Irwan, via WA itu pula.

Irwan Ilyas, wakil keluarga ahli waris Labbai
Berdasarkan Besluit Pemerintah Belanda, Labbai telah menetap di Kampung Lantebung sejak 1927. Dulu, secara administratif, Kampung Lantebung berada di Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros. Namun, kini, kampung itu terletak di Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar.
Baca juga: Hidupkan Sepeda Motor Dalam Kamar saat Cuaca Mendung, Rumah di Kabandungan Sukabumi Dimangsa Api
Memiliki tiga anak perempuan dan tujuh anak laki-laki, Labbai menerima pemberian hak milik atas tanah itu dari objek land reform di Kampung Lantebung, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kepala Inspeksi Agraria Sulawesi Selatan dan Tenggara Nomor 95/XVlll/169/5/1965, Tanggal 21 Januari 1965.
Saat itu, Labbai menerima tanah seluas 38.971 M², dengan kode Persil D/XVll/169/1836. Bersama Labbai, ada enam orang lainnya yang menerima tanah dengan luas yang sama, yakni Sewa, Tonggo, Reso, Njorong, Manje, dan Soloming.

Beuslit Pemerintah Belanda (atas), dan Labbai semasa hidup
Sebelas tahun setelah menerima tanah itu, yakni pada 2 Oktober 1976, Labbai meninggal dunia dan dimakamkan di Pekuburan Langkeang, Kota Makassar. Para ahli warisnya pun tidak pernah menjual atau memindahtangankan tanah itu. Sebab, selaku penggarap, para ahli waris ini memiliki kewajiban untuk mengangsur selama 15 tahun, sejak dikeluarkannya SK Kepala Inspeksi Agraria Sulawesi Selatan dan Tenggara Nomor 95/XVlll/169/5/1965, Tanggal 21 Januari 1965.
SK ini juga menyatakan, tanah di lokasi itu tidak bisa diperjualbelikan atau dialihkan selama 15 tahun ke depan. Namun, pada 3 Oktober 1978, Kantor Pertanahan Kota Makassar justru menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 95, 96, 97, 98, dan 99 di tanah milik ahli waris Labbai itu, atas nama Intang, Haji Kanang, Kanang, Daeng Intang, dan H. Raiya Dg. Kanang.
Baca juga: Berdiri di Bantaran Sungai Cipelang Sukabumi, Rumah 2 Lantai Ambruk dan Rata dengan Tanah
Ahli waris Labbai mengklaim, lima SHM ini dibuat tanpa prosedur semestinya, karena lima nama di SHM itu identik dengan satu orang yang sama. Lima nama itu juga bukan pemilik lahan, dan tak ada hubungan darah dengan Labbai.

Makam Labbai beserta keluarga di Pekuburan Langkeang, Kota Makassar
Namun, klaim ahli waris Labbai ini tidak mampu mencegah dialihkannya kepemilikan tanah itu pada 30 Desember 1980 oleh H. Raiya Dg. Kanang. Sosok kelahiran 1923 ini diketahui telah meninggal dunia pada 18 Februari 1979. Makam Mayor Purnawirawan LVRI Gol. A. NPv. 19571 / P ini terletak di Taman Makam Pahlawan (TMP) Panaikang, Kota Makassar.
Bertindak mewakili H. Raiya Dg. Kanang dalam pengalihan kepemilikan tanah itu adalah M. Sagaf Saleh. Ia adalah anak tiri H. Raiya Dg. Kanang, buah pernikahan suaminya, M. Saleh, alias Al Hasni, alias Saleh Suritiyono, dengan istri sebelumnya. Ada lima akta jual beli yang ditransaksikan pada 30 Desember 1980 itu, yakni:
- Akta Jual Beli Nomor 1437/lll/3/BK/1980 antara M. Sagaf Saleh dengan Ramlah Kalla
- Akta Jual Beli Nomor 1438/ lll/3/BK/1980 antara M. Sagaf Saleh dengan Erwin Aksa
- Akta Jual Beli Nomor 1441/lll/3/BK/1980 antara M. Sagaf Saleh dengan H. Sitti Atira Kalla
- Akte Jual Beli Nomor 1440/lll/3/BK/1980 antara M. Sagaf Saleh dengan Sadikin Aksa.
- Akta Jual Beli Nomor 1439/lll/3/BK/1980 antara M. Sagaf Saleh dengan Melinda Aksa
Sesuai Kartu Keluarga (KK) Nomor 21.5004/97/00658 atas nama kepala keluarga H.M. Aksa Mahmud, tiga nama dalam transaksi ini, saat itu masih di bawah umur, yakni Erwin Aksa, Sadikin Aksa, dan Melinda Aksa.

Keluarga ahli waris Labbai saat berkumpul bersama di Lantebung
Seiring waktu, tanah di Lantebung itu beralih kepemilikan ke PT Bumi Karsa. Perusahaan konstruksi milik Kalla Grup ini bahkan telah mengubah SHM Nomor 95 sampai 99 atas nama H. Raiya Daeng Kanang serta empat nama lainnya itu (Intang, Haji Kanang, Kanang, dan Daeng Intang), menjadi SHM Nomor 20069, 20264, 20265, 20266, dan 20227. PT Bumi Karsa kemudian juga telah mengubah SHM itu menjadi SHGB Nomor 20842, 20843, 21553, dan 21554.
Kepemilikan tanah oleh PT BumiKarsa ini, disebut ahli waris Labbai, bertentangan dengan hukum. Sebab, PT Bumi Karsa adalah perseroan terbatas, dan bukan merupakan orang-perorangan. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPA Nomor 5 Tahun 1960, dan PP Nomor 38 Tahun 1963 Pasal 1, hak milik tidak dapat diberikan kepada perseroan terbatas.
Pada 1 Agustus 2022, ahli waris Labbai mendapatkan salinan SK Redis Buku A dan Buku B yang sesuai dengan aslinya. Atas dasar itu, dalam sidang gugatan di PN Makassar, ahli waris Labbai meminta Hakim bersikap adil, agar mereka dapat memperoleh uang ganti rugi proyek Jalur Kereta Api Segmen E Maros-Makassar, yang kini tengah berlangsung di Lantebung.

Ahli waris Labbai saat sidang mediasi di PN Makassar
Besaran uang ganti rugi itu jauh melebihi angka Rp 150 juta yang ditawarkan kuasa hukum PT Bumi Karsa. Maka, wajar, bila ahli waris Labbai naik pitam atas tawaran uang damai dari kuasa hukum PT Bumi Karsa itu. (*)
