*)Oleh: Mevlana Thufail
Ada orang yang menyimpan korek api di saku bajunya, lalu berkata, “Tenang saja, ini belum dinyalakan.” Tapi, ia berdiri di ladang kering, dikelilingi semak yang rapuh dan angin yang tak bisa dikendalikan. Orang-orang sudah berteriak, “Padamkan!” Tapi, ia justru bicara soal potensi cahaya yang bisa dihasilkan. Itulah yang terlintas di kepala saya, ketika melihat ada tokoh agama yang membenarkan tambang dengan dalih maslahat.
Ketika saya mendengar Ulil Abshar Abdalla berkata, bahwa tambang bisa halal dan membawa maslahat, saya terhenyak. Bukan karena argumennya lemah. Tapi, karena kenyataan di lapangan terlalu pahit untuk dibungkus dengan istilah fikih. Saya tidak menolak dalil. Tapi, saya menolak ketika agama digunakan untuk melegitimasi kerusakan.
Dalam perdebatan panas di acara “ROSI” Kompas TV, Ulil mengambil posisi yang tidak populer di kalangan aktivis lingkungan. Ulil memulai dengan menegaskan, “Penambangan itu baik. Yang tidak baik adalah bad mining.” Bagi Ulil, tambang bukanlah kejahatan mutlak yang harus ditolak secara total. Ulil menyayangkan sikap sebagian aktivis yang menolak tambang secara keseluruhan, dan menyamakannya dengan pendekatan puritan. “Menolak tambang secara total itu seperti sikap wahabi dalam agama, semuanya hitam-putih,” ucap Ulil.
Ulil juga menggunakan analogi perubahan lingkungan akibat pertumbuhan populasi, untuk membenarkan adanya eksploitasi sumber daya. Menurut Ulil, “Ekosistem itu tidak selalu harus dijaga tetap seperti semula, karena perubahan adalah bagian dari kehidupan.” Ulil menekankan pentingnya obyektivitas dalam menilai dampak tambang. Ulil berkata, “Kita harus ukur mana yang lebih besar, maslahatnya atau mafsadatnya.”
Tak hanya itu, ketika isu energi fosil dibahas, Ulil menolak pandangan, bahwa dunia harus sepenuhnya meninggalkannya. “Kita tidak bisa serta-merta menghentikan energi fosil. Tapi, kita harus prihatin dengan emisi,” ujar Ulil, sambil menambahkan, bahwa yang perlu dilakukan adalah transisi yang bijak dan bertanggung-jawab.
Saya bukan ahli lingkungan. Saya pun bukan warga Raja Ampat. Tapi, saya Muslim. Dan, sebagai Muslim, saya diajarkan, bahwa bumi ini bukan milik manusia, tapi amanah dari Allah. Maka, ketika seorang tokoh agama seperti Ulil Abshar Abdalla mengatakan, bahwa tambang itu baik asal maslahatnya besar, saya terdiam lama. Sebab, bukan hanya isi ucapannya yang mengganggu. Tapi, cara agama dijadikan pembenar bagi praktek yang telah terbukti merusak alam. Seolah-olah, kerusakan bisa dibungkus dalil, lalu halal begitu saja.
Padahal Al-Qur’an sudah jauh-jauh hari memperingatkan kita tentang tipikal orang yang mengaku sebagai pembawa maslahat, padahal sejatinya ia sedang merusak. Allah ﷻ berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,’ mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan.’” (QS. Al-Baqarah: 11)
Ayat ini bukan sekadar kritik sosial, tapi peringatan spiritual. Ia mencerminkan, bagaimana jargon maslahat bisa jadi topeng untuk mafsadat. Dan, hari ini, kita melihat itu terjadi: kerusakan ekologis dibela dengan narasi agama yang terdengar logis, tapi kehilangan ruh ilahiah.
Islam tidak sekadar melarang kerusakan; ia memuliakan setiap usaha menjaga alam. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً صَوَّبَ اللهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ
“Barang siapa menebang pohon sidrah tanpa alasan yang benar, maka Allah akan membenamkan kepalanya di neraka.” (HR. Abū Dāwūd, no. 5239)
Satu pohon saja dijaga begitu ketat, apalagi bentang hutan dan laut. Bahkan, di tengah kiamat pun, Nabi memerintahkan:
إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ، فَاسْتَطَاعَ أَنْ يَغْرِسَهَا، فَلْيَفْعَلْ
“Jika kiamat terjadi dan di tangan salah seorang dari kalian ada bibit pohon kurma, maka tanamlah.” (HR. Aḥmad, no. 12902)
Ini bukan romantisme hijau. Ini adalah aqidah. Menjaga bumi adalah ibadah, bukan proyek ekonomi.
Lalu, bagaimana dengan maslahat? Apakah benar kerusakan boleh dimaafkan karena niat membawa kebaikan yang lebih besar? Kaidah usul fiqih menjawab dengan tegas:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan.”
Logika Ulil terbentur tembok prinsip dasar syariah. Tambang yang terbukti membawa kerusakan pada air, tanah, udara, dan masyarakat lokal, sekali pun menjanjikan keuntungan negara, secara hukum Islam harus ditolak. Karena ada kaidah lain yang juga jelas:
ٱلضَّرَرُ يُزَالُ
“Setiap bahaya atau mudarat harus dihilangkan.”
Islam tidak berdiri di pihak penguasa. Islam berdiri di pihak keadilan, dan keadilan itu dimulai dari menjaga ciptaan-Nya. Maka saya bertanya, adakah maslahat yang lebih besar dari menjaga titipan Tuhan?
Islam bukan sekadar agama ibadah, tapi petunjuk hidup yang menyeluruh, termasuk dalam memperlakukan bumi. Ketika tambang membawa luka ekologis, dan luka itu dibungkus dengan dalih maslahat, kita wajib bertanya: maslahat untuk siapa? Jika yang disebut maslahat justru menyingkirkan petani, meracuni sungai, dan mengoyak tatanan ciptaan Allah, maka itu bukan maslahat, tapi mafsadat yang dibungkus dalil.
Kita tidak bisa netral dalam urusan ini. Karena, ketika bumi dirusak atas nama maslahat, maka agama harus berdiri di barisan yang menolak. Menjaga alam bukan pilihan, tapi kewajiban. Karena bumi ini bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat. (*)
*)Mevlana Thufail, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah