SUKABUMITREN.COM - Labbai bin Sonde beserta istri, tiga anak perempuan, tujuh anak lelaki, dan cucu-cucunya adalah warga yang telah menetap di Kampung Lantebung sejak 1927. Dulu, secara administratif, Kampung Lantebung berada di Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros. Namun, kini, kampung itu terletak di Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar. Status domisili keluarga Labbai ini dinyatakan dalam Beuslit Pemerintah Belanda tahun 1927-1939.
Berkat statusnya sebagai warga asli Lantebung pula, maka Labbai memperoleh pemberian hak milik atas tanah dari objek land reform di Kampung Lantebung. Pemberian ini didasarkan atas Surat Keputusan (SK) Kepala Inspeksi Agraria Sulawesi Selatan dan Tenggara Nomor 95/XVlll/169/5/1965, Tanggal 21 Januari 1965.
Saat itu, Labbai menerima tanah seluas 38.971 M², dengan kode Persil D/XVll/169/1836. Bersama Labbai, ada enam orang lainnya menerima tanah dengan luas yang sama, yakni Sewa, Tonggo, Reso, Njorong, Manje, dan Soloming. Sesuai ketentuan tertulis di SK itu, Labbai dan ahli warisnya, selaku penggarap, punya kewajiban untuk mengangsur tanah ini selama 15 tahun, sejak dikeluarkannya SK itu.
Tanah ini juga tak bisa diperjualbelikan atau dialihkan selama 15 tahun ke depan. Karena itu, Labbai dan ahli warisnya tidak pernah menjual atau memindahtangankan kepemilikan tanah ini.
Labbai kemudian bahkan meningkatkan status kepemilikan atas tanahnya itu menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 2/BIRA/tanggal 7 Juni 1967. Status SHM ini juga berlaku atas tanah Reso, Tonggo, Sewa, Soloming, Nyorong, dan Manye. Seluruh data kepemilikan tanah dari ketujuh warga itu tercatat dalam Daftar Hasil Penelitian Penerima Redistribusi Tanah (Buku B) Kelurahan Bira. Salinan Buku B ini, serta SK Redis Buku A yang sesuai dengan aslinya, telah diperoleh ahli waris Labbai pada 1 Agustus 2022.

Beuslit Pemerintah Belanda (atas), dan silsilah keluarga ahli waris Labbai
Labbai sendiri telah meninggal dunia pada 2 Oktober 1976, dan dimakamkan di Pekuburan Langkeang, Kota Makassar. Dua tahun setelah kepergiannya, yakni pada 3 Oktober 1978, Kantor Pertanahan Kota Makassar menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 95, 96, 97, 98, dan 99 di tanah milik ahli waris Labbai, atas nama Intang, Haji Kanang, Kanang, Daeng Intang, dan H. Raiya Dg. Kanang.
Baca juga: Hidupkan Sepeda Motor Dalam Kamar saat Cuaca Mendung, Rumah di Kabandungan Sukabumi Dimangsa Api
Ahli waris Labbai mengklaim, lima SHM itu dibuat tanpa prosedur semestinya, karena lima nama di SHM itu identik dengan satu orang yang sama. Lima nama itu juga bukan pemilik lahan, dan tak ada hubungan darah dengan Labbai.
Diketahui pula, tanah milik H. Raiya Dg. Kanang sesungguhnya terletak di Lompo Karamaja, dengan Persil 11 SI, Kohir 2023 C1, seluas 0,74 hektar. Tanah itu dibeli dari Bora bin Tjoka. Atas dasar itu, maka SHM 95 sampai 99 itu patut diduga kuat salah lokasi alias palsu.

Data redistribusi tanah milik Labbai, Reso, Tonggo, Sewa, Soloming, Nyorong, dan Manye di Kantor Pertanahan Kota Makassar
Klaim ahli waris Labbai itu tidak mampu mencegah dialihkannya kepemilikan tanah itu pada 30 Desember 1980 oleh H. Raiya Dg. Kanang. Sosok kelahiran 1923 ini telah meninggal dunia pada 18 Februari 1979. Makam Mayor Purnawirawan LVRI Gol. A. NPv. 19571 / P ini terletak di Taman Makam Pahlawan (TMP) Panaikang, Kota Makassar.
Bertindak mewakili H. Raiya Dg. Kanang dalam pengalihan kepemilikan tanah itu adalah M. Sagaf Saleh. Lelaki ini adalah anak tiri H. Raiya Dg. Kanang, buah pernikahan suaminya, M. Saleh, alias Al Hasni, alias Saleh Suritiyono, dengan istri sebelumnya. Ada lima akta jual beli yang ditransaksikan pada 30 Desember 1980 itu, yakni antara M. Sagaf Saleh dengan Ramlah Kalla, Erwin Aksa, H. Sitti Atira Kalla, Sadikin Aksa, dan Melinda Aksa.
Sesuai Kartu Keluarga (KK) Nomor 21.5004/97/00658 atas nama kepala keluarga H.M. Aksa Mahmud, tiga nama dalam transaksi ini, saat itu masih di bawah umur, yakni Erwin Aksa, Sadikin Aksa, dan Melinda Aksa.

Transaksi jual beli tanah antara M. Sagaf Saleh dengan Ramlah Kalla, Erwin Aksa, H. Sitti Atira Kalla, Sadikin Aksa, dan Melinda Aksa
Tanah di Lantebung itu kemudian beralih kepemilikan ke PT Bumi Karsa. Perusahaan konstruksi milik Kalla Grup ini bahkan telah mengubah SHM Nomor 95 sampai 99 atas nama H. Raiya Dg. Kanang serta empat nama lainnya itu (Intang, Haji Kanang, Kanang, dan Daeng Intang), menjadi SHM Nomor 20069, 20264, 20265, 20266, dan 20227. PT Bumi Karsa kemudian juga telah mengubah SHM itu menjadi SHGB Nomor 20842, 20843, 21553, dan 21554.
Perubahan SHM menjadi SHGB ini, disebut ahli waris Labbai, sebagai prosedur hukum yang tidak lazim ditempuh, karena umumnya SHGB-lah yang diubah menjadi SHM. Ahli waris Labbai menduga, prosedur hukum itu ditempuh, karena lokasi tanah milik H. Raiya Dg. Kanang, selaku penjual, adalah tanah dengan alas hak Sertifikat C1. Sedangkan tanah yang dijual adalah milik Labbai, dengan alas hak SK Redis. Alas hak yang tidak nyambung inilah, yang diduga ahli waris Labbai, menjadi penyebab perubahan SHM menjadi SHGB oleh PT Bumi Karsa.
Kepemilikan tanah oleh PT Bumi Karsa itu, disebut ahli waris Labbai, juga bertentangan dengan hukum. Sebab, PT Bumi Karsa adalah perseroan terbatas, dan bukan merupakan orang-perorangan. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPA Nomor 5 Tahun 1960, dan PP Nomor 38 Tahun 1963 Pasal 1, hak milik tidak dapat diberikan kepada perseroan terbatas.

Papan nama kepemilikan tanah di Lantebung atas nama PT Bumi Karsa
Baca juga: Berdiri di Bantaran Sungai Cipelang Sukabumi, Rumah 2 Lantai Ambruk dan Rata dengan Tanah
Saat ini, di Lantebung, tengah berlangsung proyek Jalur Kereta Api Segmen E Maros-Makassar. Sesuai surat Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Lembaga Manajemen Aset Negara, pada 7 Mei 2025, disiapkan pembayaran ganti rugi senilai Rp 23.436.140.166.00 (dua puluh tiga miliar empat ratus tiga puluh enam juta seratus empat puluh ribu seratus enam puluh enam rupiah) untuk ganti rugi tanah yang terkena proyek di Lantebung itu.
Salah seorang warga yang memperoleh ganti rugi itu adalah ahli waris Labbai, Sangkala Jufri. Namun, tanah milik Sangkala Jufri itu diklaim PT Bumi Karsa sebagai miliknya. Sangkala Jufri pun hanya mendapat bagian ganti rugi atas tanah itu seluas tidak lebih dari tiga meter dan lima meter saja. Besaran luas tanah ini berbeda jauh dengan hasil pengukuran terakhir oleh Kantor Pertanahan Kota Makassar, yang ketika itu menyebutkan angka 27 hektar sebagai milik Labbai dan ahli warisnya.
Saat berlangsungnya pengukuran itu, tak ada satu pun wakil PT Bumi Karsa yang hadir di Lantebung. Atas saran Kantor Pertanahan Kota Makassar, ahli waris Labbai kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar.


Pengukuran tanah milik ahli waris Labbai di Lantebung oleh petugas Kantor Pertanahan Kota Makassar
Dalam sidang mediasi di PN Makassar, Kamis, 20 November 2025, ahli waris Labbai resmi mengajukan tawaran harga sebesar Rp 150 miliar bagi tanah seluas 27 hektar di Jalan Lantebung itu. Namun, angka Rp 150 miliar ini ditawar kuasa hukum PT Bumi Karsa, dengan mengajukan tawaran balik sebesar Rp 150 juta.
Melalui surat tertulis yang dikirimkan kepada Hakim Mediator PN Makassar, Rabu, 19 November 2025, kuasa hukum PT Bumi Karsa berdalih, penawaran Rp 150 miliar itu tidak memiliki dasar perhitungan yang jelas dan rasional, berdasarkan kerugian yang nyata, nilai objek sengketa, maupun kepemilikan yang sah.

Spanduk kepemilikan tanah yang dipasang ahli waris Labbai di Lantebung
Atas tawaran yang diajukan kuasa hukum PT Bumi Karsa itu, Irwan Ilyas, selaku wakil keluarga ahli waris Labbai, menyebut PT Bumi Karsa telah menganggap remeh rakyat kecil pemilik tanah di Lantebung. Kini, bersama ahli waris Labbai, Irwan rutin menjaga menjaga tanah di Lantebung itu, dengan tak lupa memasang spanduk kepemilikan di tanah itu. (*)
