SUKABUMITREN.COM - Sabtu pekan lalu, 9 Agustus 2025, di sudut lobby Hotel Savoy Homann, Bandung, kami kembali bersua Ai Takeshita. Kami adalah Penulis, beserta dua teman, Agus Wahyudi dan Kemal Ferdiansyah. Sedangkan Ai adalah perempuan asal Negeri Sakura, Jepang, yang punya rasa ingin tahu besar kepada seni, musik, dan budaya Indonesia.
Ai adalah peraih gelar doktor dari Program Pascasarjana Bahasa dan Masyarakat, Universitas Osaka, pada 2011. Kini, Ai mengajar di Tokyo University of Foreign Studies, dengan fokus pada budaya dan sastra Indonesia kontemporer.
Baca juga: Tabrakan 2 Sepeda Motor dan 1 Truk di Cikembar Sukabumi, Mahasiswa tanpa Helm Meninggal Dunia
Kurang dari setahun lalu pada September 2024, Penulis beserta Agus dan Kemal juga pernah bertemu Ai di lokasi yang sama. Ketika itu, selama kurang lebih empat jam, dari selepas Dzuhur hingga sore hari, Ai berdiskusi hangat dengan kami bertiga. Obrolan mengalir dengan beragam topik: mulai dari seni, musik, hingga budaya, plus membahas seniman multitalenta, Remy Sylado, dan Aktuil, majalah musik legendaris asal Bandung.
Ai yang asal Jepang punya rasa ingin tahu besar kepada seni, musik, dan budaya Indonesia
Kesan mendalam yang membekas dalam pertemuan itu, akhirnya seolah memaksa kami untuk ingin berjumpa lagi dengan Ai. Dan gayung bersambut pada Sabtu pekan lalu itu: Ai kembali mengundang kami ke tempat yang sama, seperti setahun sebelumnya. Pada kesempatan itu, kami ikut berbahagia melihat karya terbaru Ai, yang dimuat dalam buku “Performing Arts in Contemporary Southeast Asia” (Seni Pertunjukan di Asia Tenggara Masa Kini).
Dalam buku ini, Ai menulis esai berjudul “Remy Sylado dan Dua Brouwer: Panggung Bandung 1970-an dan Kenangannya”. Esai ini merupakan wujud penghormatan Ai kepada Remy, maestro serba bisa yang meninggalkan jejak panjang di dunia sastra, musik, seni lukis, dan kritik di Indonesia.
Remy, yang wafat 12 Desember 2022 dalam usia 78 tahun, adalah juga “ensiklopedia berjalan” dengan kiprah lintas bidang. Karya-karya warisan Remy menjadi penanda penting perjalanan seni dan budaya Tanah Air.
Baca juga: Viral di Media Sosial, Difabel Perajin Bola di Nagrak Mendapat Donasi Ketua DPRD Kabupaten Sukabumi
Tak hanya menulis esai mengenai Remy, Ai juga telah menerbitkan buku “Utopia of Reversal” (2022, Genron), menerjemahkan novel “Saman” karya Ayu Utami ke Bahasa Jepang (2007, Moseisha), serta menjadi kontributor buku “Popular Culture in Indonesia” (1996, Mekon), dan “Popular Culture in Southeast Asia” (2018, Style Note).
Ai juga aktif melakukan penelitian, yang menyoroti kelahiran, perkembangan, dan transformasi teks-teks budaya populer. Mulai dari film, novel, hingga majalah, dalam arus globalisasi dan digitalisasi.
Ai bersama tokoh, seniman, dan budayawan Bandung
Ai mulai menyukai Indonesia pada 1995, saat studi di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Sejak itu, Ai rutin berkunjung dua kali setahun ke Jakarta, membaur dengan warga dari berbagai lapisan masyarakat, demi memahami secara langsung denyut kehidupan kota.
Rutinitasnya berkunjung ke Indonesia membawa Ai tiba di Bandung. Bagi Ai, Bandung dan masyarakat Sunda memiliki daya tarik tersendiri. Keramahan, kesantunan, dan budi pekerti halus yang melekat pada budaya Sunda, membuat Ai merasa seperti di rumah sendiri.
Selama berada di Bandung, Ai aktif bertemu dan mewawancarai seniman, jurnalis, dan pelaku budaya yang menghidupkan ekosistem musik kota ini. Diantaranya adalah Doel Sumbang, Boy Worang, Benny Soebardja, Tatang Ramadhan Bouqie, Seno Gumira Adjidarma, Emmy Maria Louise Tambayong (istri Remy Sylado), Ermy Kulit, Arthur Nalan, Jan Hartlan, Yanov Ukur, Agus Sutanto, Yosef Alpraja, Teha Sutikno, Ady, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang lainnya.
Ai juga mengunjungi berbagai ruang kreatif dan tempat bersejarah, mulai dari studio rekaman, toko kaset klasik, hingga warung kopi, yang menjadi titik temu komunitas. Dalam penelitian akademisnya, Ai pun mendalami musik pop Indonesia era 1960-1970-an, dengan perhatian khusus pada fenomena Aktuil.
Baca juga: Dirilis Jumat 20 Juni 2025, Single “Kupatah Hati” 3HADE Beneran “Hade”
Bagi Ai, majalah ini bukan sekadar media musik, melainkan juga cermin gaya hidup, identitas budaya urban, serta proses adaptasi pengaruh Barat ke dalam kerangka lokal. “Saya datang untuk meneliti, tapi saya pulang membawa rasa rindu. Bandung bukan hanya kota riset, tapi juga rumah kedua,” kata Ai.
Ai bersama tokoh, seniman, dan budayawan Bandung
Kecintaan Ai pada budaya Indonesia, termasuk budaya Sunda, membuktikan, bahwa keunikan lokal bisa memikat perhatian dunia. Ai akhirnya bukan lagi sekadar peneliti yang datang lalu pulang, namun juga sahabat budaya yang membawa cerita dari Bandung ke panggung akademik internasional.
Pengalaman Ai bisa dijadikan pengingat, bahwa keramahan dan kehangatan adalah bentuk diplomasi budaya paling alami, diplomasi yang tak memerlukan panggung megah untuk menyentuh hati.
Penelitian dan kisah Ai di Bandung pun bisa menumbuhkan kembali rasa percaya diri atas budaya sendiri: bahwa kelembutan, keramahan, dan kesantunan bukanlah tanda kelemahan, melainkan sumber kekuatan besar jika dijaga dan diwariskan.
Berkat dua kali pertemuan dengan Ai, kami belajar, bahwa persahabatan lintas budaya tak selalu lahir dari forum resmi atau perjanjian tertulis, melainkan juga dari percakapan tulus, tawa bersama, dan saling menghargai. Ai telah membuktikan, bahwa kecintaan pada budaya mampu menembus batas bahasa dan negara, meninggalkan jejak yang abadi di hati setiap orang yang ditemuinya. (*)