SUKABUMITREN.COM - Bertepatan dengan Hari Ibu pada Senin pekan lalu, 22 Desember 2025, ahli waris Labbai bin Sonde hadir memenuhi panggilan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) di Jalan Urip Sumoharjo, Makassar. Saat itu, hadir mewakili ahli waris Labbai adalah Irwan Ilyas, selaku jurubicara ahli waris Labbai.
Lelaki kelahiran Makassar, 19 Juni 1970, ini mengatakan, panggilan itu menindak-lanjuti laporan ahli waris Labbai ke Kejati Sulsel sebelumnya, terhadap Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Makassar dan Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Sulsel.
Kedua institusi ini, menurut Irwan, wajib bertanggung-jawab atas diterbitkannya Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 95, 96, 97, 98, dan 99 oleh Kantor Pertanahan Kota Makassar pada 3 Oktober 1978 di atas tanah milik ahli waris Labbai di Kampung Lantebung, Makassar. Lima SHM itu tercatat atas nama Intang, Haji Kanang, Kanang, Daeng Intang, dan H. Raiya Dg. Kanang.
Nama-nama itu, disebut Irwan, identik dengan satu orang, atau orang yang sama, yakni H. Raiya Dg. Kanang. Perempuan kelahiran 1923 ini meninggal dunia pada 18 Februari 1979. Mayor Purnawirawan LVRI Gol. A. NPv. 19571 / P ini kemudian dikebumikan di Blok G 38 Taman Makam Pahlawan (TMP) Panaikang, Kota Makassar.
H. Raiya Dg. Kanang diketahui memiliki tanah berupa sawah di Lompo Karamaja, dengan Persil 11 SI, Kohir 2023 C1, seluas 0,74 hektar. Tanah ini dibeli dari Bora bin Tjoka. Sedangkan tanah milik ahli waris Labbai adalah berupa empang, yang terletak di Lompo Lantebung atau Kaddarobobbo. Karena itu, SHM 95 sampai 99 atas namaIntang, Haji Kanang, Kanang, Daeng Intang, dan H. Raiya Dg. Kanang itu patut diduga salah lokasi, alias ditempatkan di lokasi yang bukan semestinya, yakni di tanah ahli waris Labbai.
Makam H. Raiya Dg. Kanang di Taman Makam Pahlawan (TMP) Panaikang, Kota Makassar
Tanah ahli waris Labbai itu berasal dari Labbai bin Sonde dan enam anaknya, yakni Sewa, Tonggo, Reso, Njorong, Manje, dan Soloming. Tujuh warga asli Lantebung ini sama-sama menerima tanah seluas 38.971 M² dari objek land reform di Kampung Lantebung, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kepala Inspeksi Agraria Sulawesi Selatan dan Tenggara Nomor 95/XVlll/169/5/1965, Tanggal 21 Januari 1965.
Tanah milik Labbai, Sewa, Tonggo, Reso, Njorong, Manje, dan Soloming itu masing-masing terletak di Persil D/XVll/169/1836, Persil D/XVll/169/1837, Persil D/XVll/169/1838, Persil D/XVll/169/1839, Persil D/XVll/169/1840, Persil D/XVll/169/1841, dan Persil D/XVll/169/1842.
Sesuai ketentuan SK itu, Labbai dan anak-anaknya berkewajiban mengangsur tanah ini selama 15 tahun, sejak dikeluarkannya SK itu. Kewajiban ini sudah dipenuhi Labbai dan anak-anaknya. Tanah ini juga tidak bisa diperjualbelikan atau dialihkan kepemilikannya selama 15 tahun ke depan. Karena itu, Labbai, anak-anaknya, dan para ahli warisnya pun tidak pernah menjual atau mengalihkan kepemilikan tanah ini.
Labbai dan enam anaknya bahkan telah meningkatkan status kepemilikan tanah itu menjadi SHM dengan masing-masing Nomor 2-3-4-5-6-7-8/BIRA/tanggal 7 Juni 1967. Data tujuh SHM ini tercatat dalam Daftar Hasil Penelitian Penerima Redistribusi Tanah (Buku B) Kelurahan Bira. Salinan Buku B ini, dan SK Redis Buku A yang sesuai dengan aslinya, telah diperoleh ahli waris Labbai pada 1 Agustus 2022.
Irwan mengatakan, keberadaan data tujuh SHM itu dalam Salinan Buku B Kelurahan Bira juga dibenarkan pegawai Bagian Kadaster Pendaftaran Tanah di Kanwil BPN Sulsel bernama Kadir. Pegawai yang kini telah meninggal dunia itu, menurut Irwan, mengaku, bahwa benar tertulis di Salinan Buku B: lokasi tanah milik Labbai dan enam anaknya sudah bersertifikat yang dikeluarkan Kanwil BPN Sulsel.
Data SHM milik Labbai dan keenam anaknya
Namun, seiring diterbitkannya SHM Nomor 95 sampai 99 oleh Kantor Pertanahan Kota Makassar, tanah seluas total 27 hektar itu kemudian beralih kepemilikan pada 30 Desember 1980. Saat itu, tanah ini dijual oleh M. Sagaf Saleh, anak tiri H. Raiya Dg. Kanang, buah pernikahan suaminya, M. Saleh, alias Al Hasni, alias Saleh Suritiyono, dengan istri sebelumnya.
Penjualan dilakukan M. Sagaf Saleh, karena H. Raiya Dg. Kanang saat itu telah meninggal dunia. Ada lima akta jual beli yang ditransaksikan pada 30 Desember 1980 itu, yakni antara M. Sagaf Saleh dengan Ramlah Kalla, Erwin Aksa, H. Sitti Atira Kalla, Sadikin Aksa, dan Melinda Aksa.
Sesuai Kartu Keluarga (KK) Nomor 21.5004/97/00658 atas nama kepala keluarga H.M. Aksa Mahmud, tiga nama dalam transaksi ini, saat itu masih di bawah umur, yakni Erwin Aksa, Sadikin Aksa, dan Melinda Aksa. Ketiganya saat itu masih berusia lima tahun, kurang dari tiga tahun, serta kurang dari satu tahun.
Sebelas tahun setelah jual beli itu, yakni pada 7 Juli 1991, tanah itu diserahkan Ramlah Kalla, Erwin Aksa, H. Sitti Atira Kalla, Sadikin Aksa, dan Melinda Aksa ke PT Bumi Karsa. Perusahaan kontruksi milik Kalla Grup ini kemudian mengubah SHM 95 sampai 99 itu menjadi SHM Nomor 20069, 20264, 20265, 20266, dan 20227. Selanjutnya, lima SHM baru ini diubah lagi menjadi Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 20842, 20843, 21553, dan 21554.

Bukti pengalihan kepemilikan tanah ke PT Bumi Karsa
Baca juga: Tanah Dijual H. Raiya Dg. Kanang, Ahli Waris Labbai-PT Bumi Karsa Jadi Seteru di Lantebung Makassar
Empat SHGB inilah yang digunakan PT Bumi Karsa untuk mengklaim kepemilikan tanah ahli waris Labbai di Lantebung. Kini, di tanah itu tengah berlangsung Proyek Jalur Kereta Api Makassar-Parepare. Di lokasi ini pula, ada empat bidang tanah milik ahli waris Labbai, yang masing-masing memiliki luas dalam meter persegi sebesar: 124539,00; 57157,00; 47844,00, dan 43257.00.
Dari masing-masing luas itu, bagian tanah yang terdampak Proyek Jalur Kereta Api Makassar-Parepare adalah (dalam meter persegi): 2899,00; 6242,00; 3616,00; dan 199,00. Namun, akibat klaim PT Bumi Karsa, maka saat inventarisasi dan identifikasi tanah terdampak Proyek Jalur Kereta Api Makassar-Parepare pada 7 November 2022, ahli waris Labbai hanya mendapat ganti rugi atas tanah itu seluas 15 meter dan 3 meter saja.
Atas saran Kantor Pertanahan Kota Makassar, ahli waris Labbai kemudian menggugat PT Bumi Karsa ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar. Namun, dalam sidang di PN Makassar pada 20 dan 27 November 2025, tawaran Rp 150 miliar dari ahli waris Labbai bagi tanah di Lantebung itu, dijawab kuasa hukum PT Bumi Karsa dengan tawaran uang damai senilai Rp 150 juta.
Klaim PT Bumi Karsa atas tanah milik ahli waris Labbai di Lantebung
Tawaran uang damai ini ditolak ahli waris Labbai. Seusai penolakan itu, yakni pada 5 Desember 2025, datang sepucuk surat dari PN Makassar ke rumah Masita, salah seorang ahli waris Labbai, di Jalan Lantebung, RT 001/RW 006, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar.
Isi surat itu menyatakan: Berdasarkan Penetapan PN Makassar tanggal 4 September 2025, No. 23/Pdt.P-Kons/2025/PN Mks, Masita berhak menerima ganti rugi atas tanah miliknya seluas 98 meter persegi, yang terletak di Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar.
Ganti rugi diberikan, karena tanah seluas 98 meter persegi itu terdampak Proyek Jalur Kereta Api Makassar-Parepare di Lantebung. Tanah terdampak ini adalah bagian dari tanah seluas 191,82 meter persegi milik Masita. Dalam data tertulis yang diperoleh ahli waris Labbai pada akhir 2021, di tanah itu tercantum dua nama pemilik, yakni Masita dan PT Bumi Karsa.

Surat dari PN Makassar kepada Masita, ahli waris Labbai Labbai
Bahwa Masita akhirnya mendapat ganti rugi atas tanah miliknya di Lantebung itu, dinilai Irwan sebagai pertanda keadilan awal bagi ahli waris Labbai dalam sengketa melawan PT Bumi Karsa. Irwan berharap, pemanggilan ahli waris Labbai oleh Kejati Sulsel akan menuai keadilan pula bagi ahli waris Labbai. (*)
