SUKABUMITREN.COM - Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah, pada Sabtu hingga Senin, 6-8 Desember 2025, menjadi tuan rumah ajang tahunan bertajuk Festival Teater Indonesia (FTI) 2025. Dihelat di Gedung Kesenian Kota Palu, Jalan Tombolotutu, FTI 2025 ini menjadi titik temu kedua penyelenggaraan FTI, yang sedari awal diniatkan sebagai perayaan tahunan dunia teater Tanah Air.
Pembukaan festival ini dihadiri oleh Sekretaris Kota Palu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Palu, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Palu, para kurator, serta insan seni pertunjukan dari berbagai daerah di Indonesia.
Baca juga: Usia 67 Pentaskan “Musyawarah Burung”, STB Unjuk Diri dan Eksistensi Karya tanpa Ujung
FTI ini terlaksana berkat kerjasama Titimangsa dan Penastri (Perkumpulan Nasional Teater Indonesia), serta didukung oleh Direktorat Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan RI. Mengusung tema “Sirkulasi Ilusi”, festival kali ini menyoroti silang batas antara realitas dan representasi dalam kehidupan kontemporer, sebuah gagasan yang membuka ruang dialog kreatif bagi para pelaku teater.
Di festival ini, berlangsung perjumpaan gagasan, kenangan, dan pencarian artistik, saat teater dari berbagai penjuru negeri berkumpul, guna membuka ruang bagi karya-karya yang menguji batas realitas dan ilusi, sekaligus menghadirkan kembali fragmen-fragmen sejarah yang mungkin terlewat dalam ingatan kolektif anak bangsa.
FTI pun menegaskan dirinya sebagai ruang pertemuan, pertukaran, dan ekspresi bagi ekosistem teater Indonesia, dengan menghadirkan pertunjukan-pertunjukan adaptasi karya sastra Indonesia sebagai poros artistik utama. Tahun ini, selain pertunjukan teater, rangkaian kegiatan FTI mencakup Teras FTI, diskusi, lokakarya, dan jelajah panggung, yang memungkinkan terjadinya dialog antara penonton, kreator, dan kurator.
Khusus pertunjukan, FTI menghadirkan lima kelompok teater dari berbagai wilayah Indonesia, yakni:
~ Insomnia Theater Movement (Lombok Barat, NTB)
~ Komunitas Sakatoya (DI Yogyakarta)
~ Lentera Silolangi (Palu, Sulawesi Tengah)
~ Studiklub Teater Bandung / STB (Bandung, Jawa Barat)
~ Tilik Sarira Creative Process (Sukoharjo, Jawa Tengah).

Pentas “Bung di Banda” oleh STB paling dinanti dalam FTI 2025
Salah satu penampilan yang paling dinanti dalam FTI 2025 ini adalah karya terbaru Studiklub Teater Bandung (STB) berjudul “Bung di Banda: Pengasingan dan Cinta”, pada Senin, 8 Desember 2025, pukul 20.00 WIB, di Gedung Kesenian Kota Palu.
Naskah karya ini ditulis mendiang Gunawan Maryanto, hasil adaptasi panggung dari novel “Bung” karya Sergius Susanto. Disutradarai Ria Ellysa Mifelsa, pementasan ini menggabungkan pendekatan artistik intim dengan kekuatan dramatik sejarah. STB membawa kembali salah satu episode penting, namun jarang dipentaskan dari sejarah pergerakan Indonesia, yaitu pengasingan politik salah seorang Bapak Bangsa bernama Sutan Sjahrir di Banda Neira, Maluku, pada 1936.
Dalam pementasan ini, sosok Sutan Sjahrir diperankan oleh Indrasitas. Sementara Mohammad Hatta oleh Kemal Ferdiansyah, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo oleh Deden Syarif, Iwa Koesoemasoemantri oleh Andi Piteuk, Danu Kuraisin oleh Yati SA, Maria Duchâteau oleh Diana Ganda, dan Des Alwi oleh Rai Rafki.
Di balik panggung, pementasan ini ditopang tim kuat, yang terdiri dari Diana Ganda (Pimpinan Produksi), IGN Arya Sanjaya (Penata Artistik), Yati SA (Penata Kostum), serta Aji Sangiaji (Multimedia dan Pencahayaan).

Naskah ditulis mendiang Gunawan Maryanto, hasil adaptasi novel “Bung” karya Sergius Susanto
“Bung di Banda” mengangkat pergulatan batin empat tokoh pergerakan: Sjahrir, Hatta, Tjipto, dan Iwa, yang dibuang Pemerintah Kolonial Belanda ke Banda Neira pada 1936. Di tengah keterasingan, tumbuh persahabatan dan percakapan panjang tentang masa depan bangsa, sekaligus kesunyian yang menuntut keteguhan jiwa.
Drama ini juga menyoroti kisah cinta tak lazim antara Sutan Sjahrir dan Maria Duchâteau, seorang perempuan Belanda, yang mencintainya dalam senyap, sementara hubungan mereka terjepit oleh batas-batas kolonial dan ketidakpastian zaman.
Ketika Jepang memasuki Ambon pada 1942, Sjahrir dan Hatta kembali ke Jawa, meninggalkan Banda dan Des Alwi, bocah yang kelak menjadi saksi berbagai babak sejarah.

“Bung di Banda” mengangkat kisah empat tokoh pergerakan yang dibuang ke Banda Neira pada 1936
Melalui “Bung di Banda”, STB tak hanya menghadirkan drama sejarah, namun juga membuka pintu bagi publik untuk menengok kembali kesunyian para pendiri bangsa. Kesunyian yang membentuk keteguhan mereka dalam menyusun masa depan Indonesia.
STB juga mengajak penonton merenungkan, bagaimana pengasingan membentuk manusia, memperkuat karakter dan tekad, serta memunculkan kesepian dan kerentanan yang kerap tak tercatat dalam buku sejarah. Pentas “Bung di Banda” ini pun menjadi salah satu penampilan yang memperkaya FTI 2025, dan menghidupkan kembali ingatan kolektif tentang babak-babak senyap dalam perjalanan bangsa.
Baca juga: 45 OAP Berlatih Bioflok di Pandawa Farm dan Fisheries Subang: “Ilmu di Sini Jadi Bekal Masa Depan”
Ketika tirai Festival Teater Indonesia 2025 perlahan tertutup di Palu, yang tersisa bukan hanya tepuk tangan, melainkan juga ajakan untuk terus merawat ingatan, dialog, dan imajinasi yang membuat teater tetap menjadi ruang paling jujur bagi manusia untuk membaca dirinya sendiri.

“Bung di Banda” hidupkan kembali ingatan tentang babak senyap perjalanan bangsa
Tak sia-sia STB melanglang jauh dari Bandung untuk pentas di Palu. (*)
