SUKABUMITREN.COM - Postingan yang diunggah Penulis di Facebook (FB) pada Selasa, 4 November 2025, sekitar pukul 16:30 WIB, itu, tak diduga menuai sambutan riuh. Noe Firman, pemilik Koran Gala, Bandung, menulis di kolom komentar, “Kereeen..” Komentar yang membuat hati bungah atau berbunga-bunga juga ditulis jurnalis senior, Asep S. Bakrie, dan mantan redaktur Koran Pikiran Rakyat, Bandung, Syamsul Ma’arif.
”Duh, jangan jangan dulu ada rezeki yang saya makan juga atas jasa pengantaran koran Pa Ateng. Mugia sehat salamina, Bapa. Om Kin, sae postinganana....” tulis Asep. “Semoga sehat selalu pa Ateng teringat waktu jaman bursa koran cikapundung kalau pagi mani ngagulung ku loper sareng. Agen ha ha,” tulis Syamsul.
Baca juga: Terdampak Cuaca Ekstrim, Longsor dan Banjir Dilaporkan Terjadi di Sejumlah Wilayah Sukabumi
Satu komentar lain, dari sekian banyak komentar yang berdatangan, juga ditulis Acep Zamzam Noor. Budayawan dan sastrawan ini menulis dengan nada sapa, “Mang ateng sehat”, lengkap disertai foto tengah duduk bersama sosok yang disapanya itu di daerah Dalem Kaum, Bandung.
“Sering tepang di dalem kaum, langganan,” tulis sohib Penulis ini, mengomentari foto unggahannya itu.
Pak Ateng bersama budayawan dan sastrawan Acep Zamzam Noor di daerah Dalem Kaum, Bandung
Bahwa kawan-kawan baik Penulis itu sampai bisa berkomentar riuh demikian, tiada lain karena Penulis mengunggah postingan mengenai sosok yang sangat mereka kenal. Yang di tengah gegasnya kehidupan Kota Bandung yang kian modern, justru masih sangat setia menjaga denyut masa lalu. Yakni: Pak Ateng.
Setiap pagi, sebelum matahari sempurna menanjak melampaui batas ufuk, denting bel sepeda dan suara “koran…, koran...!” masih senantiasa terdengar dilantunkan Pak Ateng di sekitar Lapangan Tegallega, Bandung. Suara khas itu terucap dari seorang penjaja koran, yang telah puluhan tahun mengabdikan diri di jalanan kota berjuluk Kota Kembang ini.
Baca juga: Usia 67 Pentaskan “Musyawarah Burung”, STB Unjuk Diri dan Eksistensi Karya tanpa Ujung
Setiap pagi itu pula, hingga jelang siang, Pak Ateng rutin ngontel atau mengayuh sepedanya menyusuri Lapangan Tegallega, Jalan BKR, Jalan Oto Iskandar Dinata, Ciateul, Astana Anyar, Alun-Alun, Dalem Kaum, hingga ke Cibaduyut. Tas besar selalu menyertai di belakang sepedanya, berisikan koran yang terlipat rapi. Dan, tak lupa, mengenakan topi lusuh di kepalanya, yang menjadi penanda setia waktu yang terus berjalan.

Lapangan Tegallega, Bandung, tempat suara Pak Ateng masih kerap terdengar, “Koran..., koran...!!!”
Dulu, hampir setiap rumah berlangganan koran. Pagi-pagi, warga sudah menanti di depan pagar, untuk segera membaca berita segar dari Pikiran Rakyat, Galamedia, Kompas, atau majalah mingguan populer kala itu. Namun, kini, pelanggan tetap Pak Ateng tinggal bisa dihitung dengan jari. Banyak diantara para pelanggan yang masih setia itu adalah mereka yang sudah lanjut usia, yang masih ingin menjaga kebiasaan lama: membaca berita dari kertas, bukan dari layar.
Kendati begitu, di usianya kini yang telah mencapai 70-an tahun, semangat Pak Ateng untuk ngider atau berkeliling menjajakan koran tak ikutan surut. Dengan sepeda tuanya yang sudah menempuh jarak ribuan kilometer, Pak Ateng masih rutin berkeliling Kota Bandung tiap hari, membawakan kabar dari lembaran-lembaran kertas koran yang kini makin jarang dicari orang.
“Saya mah geus biasa ngider, ti isuk kénéh nepi ka jam sapuluhan (saya sudah biasa keliling, dari masih pagi sampai sekitar pukul 10-an),” ujar Pak Ateng sambil tersenyum, dengan peluh menetes di keningnya. “Ayeuna mah paling loba tilu puluh, lima puluh koran sapoé, beda jeung baheula, bisa ratusan (sekarang paling banyak terjual 30, 50 koran sehari, beda dengan dulu, bisa ratusan).”
“Kadang, koran sésa mah dibawa ka taman, dibaca ku nu keur ngopi. Nu penting mah teu ngabandél (kadang, sisa koran yang tidak terjual dibawa ke taman, dibaca oleh orang yang sedang minum kopi. Yang penting tidak bandel),” kata Pak Ateng dengan ringan, menandakan kesederhanaan adalah teman hidupnya paling akrab selama ini.

Penulis, bersama koran yang dibeli dari Pak Ateng
Saat ini, Pak Ateng hanya menjajakan beberapa koran terbitan Bandung, seperti Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Koran Gala, dan juga Kompas. Pak Ateng tahu betul, masa kejayaan media cetak sudah lama berlalu. Namun, bagi Pak Ateng, profesi ini bukan sekadar pekerjaan, namun juga wujud pengabdian kepada waktu dan kebiasaan lama yang ingin dirinya jaga.
Pak Ateng bukan hanya pengantar berita, tapi juga saksi perubahan zaman, dari masa ketika berita masih dicetak di kertas beraroma tinta, hingga kini ketika kabar menyala di layar-layar gawai. Di tengah senja kala media cetak itu, sosok seperti Pak Ateng senantiasa menjadi pengingat, bahwa tidak semua hal bisa digantikan oleh teknologi. Di balik setiap koran yang sampai ke tangan pembaca, ada peluh, kesetiaan, dan cinta yang tak lekang oleh waktu.
Sama dengan penjaja koran legendaris bernama Pak Ujang asal Subang, yang beberapa bulan lalu telah berpulang selamanya ke Haribaan Sang Pencipta. Maka, selama masih ada orang seperti Pak Ateng, yang setia mengayuh sepeda dan membagikan berita dari hati ke hati, dunia cetak tak akan benar-benar mati. Media itu hanya berganti bentuk. Namun,rohnya tetap hidup di setiap ingatan yang tak ingin dilupakan.

Penulis bersama almarhum Mang Ujang (atas), dan Pak Ateng bersama sepeda tuanya
Pak Ateng pun hanya tersenyum, ketika ditanya sampai kapan akan terus berkeliling mengantar koran.
“Selama awak masih kuat ngontél, selama aya nu masih hayang maca koran, insya Allah, Bapak terus waé (selama badan masih kuat mengayuh sepeda, selama masih ada yang mau baca koran, insya Allah, Bapak terus saja),” ucap Pak Ateng pelan, namun pasti.
Koran-koran yang beredar di Bandung wajib berterima-kasih atas janji Pak Ateng ini...!!! (*)
