SUKABUMITREN.COM - Libur panjang akhir pekan menyambut datangnya Tahun Baru Islam, 1 Muharam 1447 Hijriah, membuat Penulis jadi melankolis. Saat itu, terekam jelas dalam ingatan Penulis, situasi merindukan ini: kabut tipis pagi selimuti kota, denting bel sepeda, suara lembaran koran dibuka di teras rumah, aroma kopi, serta berita tentang kemenangan Persib atau gejolak politik nasional yang menjadi bahan obrolan di warung. Semuanya itu adalah bagian dari memori kolektif, yang tak bisa tergantikan oleh notifikasi ponsel.
Tapi, apalah daya Penulis. Di tengah kian majunya teknologi digitalisasi, satu demi satu koran yang dulu menjadi bagian terpenting dalam memori itu, kini telah mati. Seiring senjakala itu, ikut redup pula profesi loper koran. Padahal, dalam sejarahnya, profesi yang berasal dari kata Bahasa Belanda: krantenloper ini, adalah pintu masuk ke dunia kerja bagi banyak remaja di berbagai negara.
Baca juga: "Constellation of Us", Single Perdana Faza Rahim Pasca Lama Menjauh dari Sorot Cahaya
Hari Loper Koran pun diperingati setiap tahun pada 8 Oktober, pertanda dihargainya profesi ini dalam ekosistem informasi, yang membentuk kebiasaan literasi warga dunia selama puluhan tahun.
Loper koran adalah pintu masuk ke dunia kerja bagi banyak remaja di berbagai negara
Namun, era informasi digital yang serba cepat dan gratis telah membuat peran loper terpinggirkan. Tak banyak lagi orang yang menekuni pekerjaan ini. Di antara yang tersisa dan tetap sangat setia menjaga tradisi ini, adalah sejumlah orang yang tinggal satu kota dengan Penulis di Subang.
Dengan sepeda tua, tas selempang penuh surat kabar, dan semangat tidak kunjung padam, orang-orang ini masih rutin menyusuri jalanan kota setiap pagi. Orang-orang ini bukan sekadar penjual berita, namun juga pengantar kenangan dan penjaga ritme kehidupan dari sebuah kota kecil yang pernah begitu akrab dengan aroma tinta cetak. Siapakah mereka?
■ Mang Ujang, Loper Tertua Kota Subang
Sosok dan nama lelaki 75 tahun ini tak lagi asing bagi warga Subang. Mang Ujang adalah pengecer dan loper koran tertua di kota ini. Sudah hampir lima dekade, Mang Ujang menjalani profesi ini, mulai dari membantu sang paman pada tahun 1970-an, hingga akhirnya meneruskan usaha itu seorang diri.
Baca juga: Sambut Tahun Baru Islam 1447 H, Warga Cibadak Sukabumi Gelar Pawai Obor dan Atraksi Sembur Api
Sehari-hari, dulu, Mang Ujang mengayuh sepedanya dengan menyusuri rute yang sama: dari belakang Lapang Bintang, melewati Jalan Otista, singgah di kios kopi di Pasar Inpres, dan berakhir di sekitar Terminal Pujasera, Subang.
Setiap pagi, bahkan sebelum ayam berkokok, Mang Ujang sudah siap dengan ikatan koran di boncengan sepedanya. Kala itu, isi boncengan didominasi media Kompas, Pikiran Rakyat, Galamedia, Mandala, dan juga koran lokal.
Baca juga: Cobi Didamel Wargi Sukabumi: Bawang Bacem
Mang Ujang pun mengantarkan koran-koran itu ke lebih dari 100 pelanggan, dengan profesi beragam: guru, pegawai kantor dinas, hingga pedagang pasar.
Kini, dalam usia tak lagi muda, pelanggan Mang Ujang tinggal belasan orang yang masih setia. Namun, semangat Mang Ujang tetap menyala. Bersama istri yang setia menemani berkeliling mengantarkan koran, hari-hari Mang Ujang tetap sama dengan dulu. Demikian pula tekadnya selaku pengantar koran.
Baca juga: Info Lowongan Kerja Update Ke 160
Bagi Mang Ujang, pekerjaan mengantar koran bukan lagi sekadar rutinitas, tapi sudah bagian dari jati diri. “Saya bukan cari kaya. Cuma pengen tetap berguna, tetap gerak,” ujar Mang Ujang, dalam sebuah kesempatan perbincangan dengan Penulis.
■ Bu Iyos, Penjaga Warisan Sang Suami
Di sekitar Terminal Pujasera, Subang, kini masih berdiri lapak koran sederhana milik Bu Iyos. Sejak Akim, suaminya, loper koran keliling, meninggal dunia, perempuan 67 tahun ini meneruskan usaha lapak itu seorang diri.
Baca juga: 14 Juni 1971 di Semarang: Koran Suluh Marhaen Merilis Jadwal Nonton Film “Si Buta dari Gua Hantu”
Lapak yang dulu ramai oleh puluhan koran dan tabloid, kini hanya menyisakan lima surat kabar: Kompas, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, dan Pasundan Ekspres, serta majalah bulanan berbahasa Sunda, Mangle. Ketika dunia media cetak terus tergerus digitalisasi, Bu Iyos tetap bertahan.
“Ibu akan tetap jualan koran, selama masih ada surat kabar yang terbit,” ucap Bu Iyos.
Baca juga: Bahagia Sesimpel Mr. Bean: Bikin Scone, Sambut Weekend
Sebuah ucapan sederhana. Namun, menyimpan keteguhan luar biasa, berupa kecintaan kepada profesi, kesetiaan terhadap pasangan, dan keberanian mempertahankan nilai-nilai di tengah arus zaman.
■ “Iwan Koran”: Masih Rutin Jajakan Koran
Sosok yang tak juga bisa dilewatkan adalah Kang Iwan, atau akrab disapa “Iwan Koran". Loper ini masih rutin menjajakan sekitar 100 eksemplar koran setiap hari, dan mengantarnya ke kantor-kantor, pegawai negeri, hingga pensiunan. Koran yang paling laris? Tentu saja Pasundan Ekspres, koran lokal kebanggaan warga Subang.
■ Kios Koran Kang Iik di Jalur Pantura
Di bawah Fly Over Pamanukan, arah Jakarta, saat ini masih berdiri kios koran Kang Iik. Menjual sekitar 10 koran setiap harinya, Kang Iik tetap bertahan. Kang Iik percaya, selama masih ada satu-dua pembaca yang mencari koran, kiosnya tetap punya arti.
Selama masih ada koran, selama itu pula tetap ada orang menekuni profesi loker
Tentu, bagi penikmat setia koran, sosok macam Kang Iik, Mang Ujang, Bu Iyos, dan Kang Iwan juga punya arti lebih dari sekadar kios. Para loper ini adalah pengingat, bahwa di dunia yang terus bergerak cepat, tetap ada kesetiaan dan kekuatan dalam kesederhanaan.
Baca juga: Teteh Sukabumi nu Gareulis, hayuk Bikin Cemilan buat Jualan: Soft Baked Cookies
Bila jurnalis sejati baru akan berhenti setelah mati, maka demikian pula dengan loper-loper ini. Koran yang para loper jajakan itu bisa henti edar kapan saja. Namun, bukan lantas membuat loper ikut berhenti beredar. Loper memiliki “dunia” sendiri, yang membuat mereka belum akan tiba di titik “game over”, alias “berhenti”.
Loper adalah pengingat akan pentingnya kesetiaan dan kekuatan dalam kesederhanaan
Di titik itulah, ada nama-nama yang Penulis tulis: Mang Ujang, Bu Iyos, Kang Iwan, dan Kang Iik. (*)
*)Kin Sanubary, Kolektor Media Lawas