SUKABUMITREN.COM - H. Raiya Dg. Kanang adalah perempuan kelahiran 1923 yang semasa hidupnya berkarier sebagai anggota militer. Meninggal dunia pada 18 Februari 1979,Mayor Purnawirawan LVRI Gol. A. NPv. 19571 / P ini dikebumikan di Blok G 38 Taman Makam Pahlawan (TMP) Panaikang, Kota Makassar.
Lima bulan sebelum kepergiannya itu, yakni pada 3 Oktober 1978, Kantor Pertanahan Kota Makassar menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 95, 96, 97, 98, dan 99 atas nama Intang, Haji Kanang, Kanang, Daeng Intang, dan H. Raiya Dg. Kanang. SHM ini diterbitkan di atas tanah milik Labbai bin Sonde di Kampung Lantebung, Makassar.
H. Raiya Dg. Kanang sendiri diketahui memiliki tanah di Lompo Karamaja, dengan Persil 11 SI, Kohir 2023 C1, seluas 0,74 hektar. Tanah ini dibeli dari Bora bin Tjoka. Atas dasar itu, SHM 95 sampai 99 itu patut diduga kuat adalah salah lokasi, alias ditempatkan di lokasi yang bukan semestinya.
Makam H. Raiya Dg. Kanang di TMP Panaikang, Makassar
Pada 30 Desember 1980, tanah dengan SHM Nomor 95, 96, 97, 98, dan 99 itu dijual M. Sagaf Saleh, anak tiri H. Raiya Dg. Kanang, buah pernikahan suaminya, M. Saleh, alias Al Hasni, alias Saleh Suritiyono, dengan istri sebelumnya. Saat itu, H. Raiya Dg. Kanang telah meninggal dunia.
Ada lima akta jual beli yang ditransaksikan pada 30 Desember 1980 itu, yakni antara M. Sagaf Saleh dengan Ramlah Kalla, Erwin Aksa, H. Sitti Atira Kalla, Sadikin Aksa, dan Melinda Aksa. Sesuai Kartu Keluarga (KK) Nomor 21.5004/97/00658 atas nama kepala keluarga H.M. Aksa Mahmud, tiga nama dalam transaksi ini, saat itu masih di bawah umur, yakni Erwin Aksa, Sadikin Aksa, dan Melinda Aksa.

Bukti transaksi jual beli pada 30 Desember 1980
Pasca transaksi jual beli itu, yakni pada 3 Februari 1986, terbit Surat Keterangan Nomor 19/II/KB/1986 dari Kelurahan Bira. Isi surat ini menyebutkan: M. Sagaf Saleh Al Hasni tak pernah tinggal atau bertempat tinggal di wilayah Kelurahan Bira, Kecamatan Biringkanaya.
Surat ini menjadi petunjuk penting bagi ahli waris Labbai. Sebab, tanah yang ditransaksikan itu terletak di Kampung Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar. Dulu, tanah ini berada di Kampung Lantebung, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros.
Surat Keterangan Nomor 19/II/KB/1986 dari Kelurahan Bira
Sesuai Beuslit Pemerintah Belanda Tahun 1927-1939, Labbai adalah warga asli yang telah menetap di Lantebung sejak 1927. Status domisili ini membuat bapak tiga anak perempuan dan tujuh anak lelaki itu mendapat pemberian hak milik atas tanah dari objek land reform di Kampung Lantebung. Pemberian hak milik atas tanah ini didasarkan pada Surat Keputusan (SK) Kepala Inspeksi Agraria Sulawesi Selatan dan Tenggara Nomor 95/XVlll/169/5/1965, Tanggal 21 Januari 1965.
Baca juga: Diduga Jual Obat Keras Terbatas Tanpa Izin, Warung di Cicurug Sukabumi Digerebek Polisi dan TNI
Labbai menerima tanah seluas 38.971 M², dengan kode Persil D/XVll/169/1836. Sesuai ketentuan SK itu, Labbai dan ahli warisnya punya kewajiban mengangsur tanah ini selama 15 tahun, sejak dikeluarkannya SK itu. Tanah ini juga tak bisa diperjualbelikan atau dialihkan kepemilikannya selama 15 tahun ke depan. Karena itu, Labbai dan ahli warisnya pun tidak pernah menjual atau mengalihkan kepemilikan tanah ini.
Labbai kemudian bahkan telah meningkatkan status kepemilikan atas tanahnya itu menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 2/BIRA/tanggal 7 Juni 1967. Data SHM ini tercatat dalam Daftar Hasil Penelitian Penerima Redistribusi Tanah (Buku B) Kelurahan Bira. Salinan Buku B ini, dan SK Redis Buku A yang sesuai dengan aslinya, telah diperoleh ahli waris Labbai pada 1 Agustus 2022.

Beuslit Pemerintah Belanda (atas), dan foto Labbai semasa hidupnya
Baca juga: Hidupkan Sepeda Motor Dalam Kamar saat Cuaca Mendung, Rumah di Kabandungan Sukabumi Dimangsa Api
Namun, seiring meninggalnya Labbai pada 2 Oktober 1976, terbit SHM di tanah itu atas nama Intang, Haji Kanang, Kanang, Daeng Intang, dan H. Raiya Dg. Kanang. Tanah ini kemudian dijual M. Sagaf Saleh, anak tiri H. Raiya Dg. Kanang, kepada Ramlah Kalla, Erwin Aksa, H. Sitti Atira Kalla, Sadikin Aksa, dan Melinda Aksa.
Saat ini, tanah itu juga telah beralih kepemilikan ke PT Bumi Karsa. Bahkan, perusahaan konstruksi milik Kalla Grup ini telah mengubah SHM Nomor 95 sampai 99 atas nama Intang, Haji Kanang, Kanang, Daeng Intang, dan H. Raiya Dg. Kanang itu, menjadi SHM Nomor 20069, 20264, 20265, 20266, dan 20227. SHM ini kemudian juga telah diubah menjadi SHGB Nomor 20842, 20843, 21553, dan 21554.
Di tanah itu kini tengah berlangsung proyek Jalur Kereta Api Segmen E Maros-Makassar. Sesuai surat Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Lembaga Manajemen Aset Negara, pada 7 Mei 2025, disiapkan pembayaran senilai Rp 23.436.140.166.00 (dua puluh tiga miliar empat ratus tiga puluh enam juta seratus empat puluh ribu seratus enam puluh enam rupiah) untuk ganti rugi tanah warga yang terkena proyek di Lantebung itu.

Papan pernyataan PT Bumi Karsa atas kepemilikan tanah di Lantebung
Salah seorang warga yang semestinya memperoleh ganti rugi itu adalah ahli waris Labbai, Sangkala Jufri. Namun, tanah Sangkala itu diklaim PT Bumi Karsa sebagai miliknya. Sangkala hanya mendapatkan bagian tidak lebih dari tiga meter dan 15 meter atas tanahnya itu. Besaran luas tanah ini jauh berbeda dengan hasil pengukuran terakhir oleh Kantor Pertanahan Kota Makassar, yang ketika itu menyebutkan angka 27 hektar sebagai milik Labbai dan ahli warisnya.
Atas saran Kantor Pertanahan Kota Makassar, ahli waris Labbai mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar. Dalam sidang mediasi di PN Makassar, Kamis, 20 November 2025, ahli waris Labbai resmi mengajukan tawaran sebesar Rp 150 miliar bagi tanah seluas 27 hektar di Lantebung itu. Namun, kuasa hukum PT Bumi Karsa mengajukan tawaran balik berupa uang damai senilai Rp 150 juta.

Keluarga ahli waris Labbai saat sidang mediasi kedua di PN Makassar
Tawaran uang damai ini resmi ditolak ahli waris Labbai di sidang mediasi kedua, Kamis, 27 November 2025. Kini, sambil menanti putusan Majelis Hakim PN Makassar, ahli waris Labbai pun senantiasa rutin berjaga di Lantebung, dan memasang spanduk pernyataan kepemilikan di tanah itu. (*)
