SUKABUMITREN.COM - Di dunia teater Indonesia, terutama di Bandung dan Jawa Barat, nama Yusef W. Muldiyana Subandi amat dikenal selaku sosok yang konsisten berkarya lebih dari lima dekade. Lahir di Subang, 2 September 1961, Yusef telah memulai langkah kesenimanannya sejak usia belia. Ia aktif berteater sejak 1972, dan menulis naskah sejak 1975. Langkah awal itu kemudian menandai perjalanan panjangnya sebagai aktor, penulis, sutradara, dan penggiat teater lintas medium.
Sedari kecil, Yusef memang tumbuh dalam lingkungan seni yang dinamis. Kecintaannya pada panggung berawal dari sandiwara-sandiwara yang dimainkan para pekerja kebun di masa kecilnya itu. Yusef pun menghabiskan masa kanak-kanaknya itu dengan terlibat dalam aneka kegiatan bersama Lingkung Seni Anak-Anak Damar (1972–1977).
Saat beranjak remaja, Yusef membentuk Sanggar Sembilan di SMPN IX, Bandung. Ketika SMA, sejak kelas 1 pada 1977, Yusef mulai belajar seni peran di Teater Bel Bandung, yang waktu itu masih bernama Teater Gé-éR. Yusef kemudian juga mendirikan Teater Lampu, serta bergabung dengan berbagai komunitas seperti Teater Ge-eR/Teater Bel, Teater Jurang, Teater Tackle, dan Teater Sangsaka.
Di akhir 1970-an hingga awal 1980-an, Yusef mulai melatih kelompok teater di berbagai SMA terkemuka di Bandung. Pada periode ini pula, Yusef mendirikan sejumlah kelompok seni seperti Teater Compang Lembang, Teater DOT, Teater Nih, dan Teater Cantrik. Aktivitasnya ini menunjukkan kemampuan serba bisa Yusef. Ia bukan hanya sebagai aktor, namun juga organisator dan penggerak komunitas.
Lahir di Subang, 2 September 1961, kecintaan Yusef pada panggung berawal dari sandiwara pekerja kebun di masa kecilnya
Baca juga: Hidupkan Sepeda Motor Dalam Kamar saat Cuaca Mendung, Rumah di Kabandungan Sukabumi Dimangsa Api
Tahun 1982 menjadi fase penting ketika Yusef masuk ASTI Bandung (kini ISBI), disusul kuliah di Akademi Sinematografi Bandung pada 1983. Pendidikan formal seni ini memperluas perspektif artistiknya, yang memungkinkannya berkelana di dunia teater, film, dan televisi secara bersamaan.
Perjalanan hidup kesenimanan Yusef kemudian membawanya ke Acting Course Studiklub Teater Bandung (STB) pada 1983, yang berlanjut dengan bergabungnya Yusef ke salah satu komunitas teater paling berpengaruh di Indonesia itu. Yusef pun berkesempatan menjadi salah satu murid langsung dari maestro teater Tanah Air, pendiri STB, Suyatna Anirun
Tahun 1987, Yusef merantau ke Jakarta, dan berproses bersama Teater Ketjil di bawah arahan Arifin C. Noer. Pertemuannya dengan mendiang sutradara ternama ini menjadi sebuah pengalaman hidup yang memperkaya karakter estetik dan disiplin kerja Yusef. Juga, menjadi penanda penting yang membentuk karakter kepenulisannya.
Sejumlah capaian diraih Yusef pada era ini. Antara lain: Juara 3 Sayembara Naskah Lakon Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1998, dengan naskah “Bulan dan Kerupuk”, serta Hibah Seni Kelola 2018, dengan naskah “Sikat Sikut Sakit”. Karya Yusef yang lain, “BANPOL (Banyolan Politik)”, mendapat penghargaan dari Goethe-Institut. Pada 1985, Yusef juga meraih penghargaan sebagai Sutradara Terbaik antar Perguruan Tinggi Se-Jawa Barat, dan Juara Monolog Se-Jawa Barat (1988/1989).
Sebagai kreator, daftar karya Yusef nyaris tak berkesudahan. Mulai dari drama seperti “Senja di Atas Bukit” (1978), hingga karya kontemporer bertema sosial-politik, seperti “BANPOL”, “Ngompol”, “Exodus”, “Tembang Langit”, “Monkey Politic”, “Bulan dan Kerupuk”, serta puluhan karya lain lahir dari tangan kreatifnya. Tahun 2025 ini, Yusef juga kembali ke panggung klasik dengan menyutradarai lakon “Caligula” karya Albert Camus.


Salah satu aksi Yusef saat pentas bersama Studiklub Teater Bandung (STB)
Berkat perjumpaannya dengan Arifin C. Noer, Yusef juga punya panggung lain di luar teater, yakni dunia film dan sinetron, baik sebagai aktor maupun kru produksi. Yusef tercatat pernah terlibat dalam karya-karya film Arifin C. Noer seperti “Jakarta 1966”, “Taksi”, “Bibir Mer”, “Tasi Oh Tasi”, “Sebuah Pintu Sebuah Kalbu”, serta sejumlah produksi televisi dan layar lebar, termasuk “Jomblo” (2005), “Lentera Merah” (2006), dan “Janda Kembang” (2009).
Pada 1995, Yusef kembali ke Bandung dan mendirikan Laskar Panggung Bandung (LPB) pada 20 November 1995. Kelompok teater ini kemudian tumbuh menjadi salah satu pilar teater independen di Jawa Barat. Di bawah arahan Yusef, LPB telah memproduksi sekitar 400-an pementasan selama tiga dekade, dengan 90 persen naskah adalah karya Yusef sendiri. LPB juga telah pentas di banyak kota di Indonesia, mulai dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali, hingga Sulawesi.
Sebagai sutradara, Yusef juga sudah mengarahkan lebih dari 200 pertunjukan, dan menulis lebih dari 50 naskah. Repertoarnya mencakup karya klasik dunia, teater realis, absurdisme, komedi, hingga teater kontemporer Nusantara. Yusef juga kerap menjadi juri di berbagai lomba seni tingkat kota, provinsi, hingga nasional, mulai dari festival teater, baca puisi, cabaret, mengarang, dan masih banyak lagi.
Baca juga: Berdiri di Bantaran Sungai Cipelang Sukabumi, Rumah 2 Lantai Ambruk dan Rata dengan Tanah
Apresiasi resmi diperoleh Yusef pada 2015. Dedikasi panjangnya di dunia seni itu diganjar penghargaan Anugerah Budaya Kota Bandung dalam bidang teater.


Berkat perjumpaan dengan Arifin C. Noer, Yusef punya panggung lain di luar teater, yakni dunia film dan sinetron
Sejak 2013, Yusef aktif melatih dan menyutradarai para seniman difabel dari kalangan tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan cerebral palsy, di Yayasan Smile Motivator. Kepekaan sosial dan komitmen kemanusiaannya membuat teater menjadi medium pemberdayaan, bukan sekadar pertunjukan. Yusef juga melatih teater di berbagai sekolah dan komunitas, mengajar seni peran di beberapa lembaga, sekaligus menjadi dramaturg Teater Awal UIN Sunan Gunung Djati, Bandung.
Kini, Yusef juga aktif di Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA), dan menjadi salah satu pendiri Majelis Sastra Bandung bersama Matdon dan Deddy Koral, dua rekan seperjalanan sekaligus sesama pendiri LPB.
Seluruh aktivitas kesenimanan yang tak bisa tercatat semuanya, akibat saking banyaknya itu, merupakan gambaran sosok Yusef sebagai seorang seniman yang hidup sepenuhnya di panggung, yang konsisten, produktif, dan tak pernah berhenti bergerak. Dari masa kanak-kanak hingga hari ini, Yusef membuktikan, bahwa teater bukan sekadar seni, namun juga jalan hidup.
Di tengah perubahan zaman, Yusef tetap hadir sebagai sutradara, penulis, penggerak komunitas, serta pendidik yang mencetak generasi baru pelaku teater. Warisan karyanya bukan hanya ratusan pementasan yang telah ia lahirkan, tetapi juga manusia-manusia yang ia bentuk dan bangkitkan melalui seni.
Yusef Muldiyana (kiri) bersama Penulis di Bandung
Ceuk urang Sunda mah (Kalau kata orang Sunda), Abah Yusef teh hade pisan (hebat sekali)...!!! (*)
